Jumat, 22 Juli 2011

Irfan Haarys Bachdim


Irfan Bachdim
Irfan Haarys Bachdim (lahir di Amsterdam, 11 Agustus 1988) adalah pemain sepak bola Indonesia keturunan Belanda. Saat ini ia memperkuat Persema Malang di Liga Premier Indonesia. Ia juga tergabung dalam timnas Indonesia asuhan Alfred Riedl untuk Piala AFF 2010. Dalam bermain, ia bisa menempati berbagai posisi seperti penyerang, gelandang maupun sayap.   
Latar belakang
Ayah Irfan, Noval Bachdim merupakan warga negara Indonesia keturunan Arab - Indonesia yang dilahirkan di Malang dan menetap di Lawang, Malang hingga tahun 80-an, sebelum tinggal di Belanda selama lebih dari 20 tahun. Ibunya Hester van Dijic adalah warga negara Belanda. Keluarga Bachdim tinggal di kota Amsterdam. Kakeknya Ali Bachdim adalah purnawirawan TNI Angkatan Laut.
Irfan terlahir dari keluarga pesepakbola. Ayahnya merupakan mantan pesepakbola dari klub PS Fajar Lawang (anggota kompetisi internal Persekam Malang) pada era 80-an. Kakeknya Ali Bachdim merupakan mantan pemain Persema Malang dan PSAD Jakarta.

Keluarga

Pada tanggal 8 Juli 2011 Irfan menikah dengan Jennifer Kurniawan, kakak dari Kim Jeffrey Kurniawan.

Karier

Di Belanda

Irfan mulai bermain sepak bola di akademi sepakbola Ajax Amsterdam. Setelah tiga tahun ia pindah ke SV Argon, di mana ia menjadi pencetak gol terbanyak meskipun ia bermain sebagai gelandang. Irfan kemudian direkrut oleh pencari bakat FC Utrecht, dan menandatangani kontrak dengan klub tersebut. Ia kemudian bermain untuk tim junior Utrecht, dan sesekali menjadi pemain cadangan tim senior. Setelah kontraknya tidak diperpanjang lagi, maka pada bulan Juli 2009 ia ditransfer tanpa biaya ke klub HFC Haarlem.

 Di Indonesia

Pada bulan Maret 2010, Irfan mengikuti seleksi pemain di Persib Bandung dan Persija Jakarta, namun kedua klub tersebut tidak memilihnya. Tanggal 9 Agustus 2010, ia direkrut pelatih Persema Malang, Timo Scheunemann, setelah sang pelatih melihat permainan Irfan dan para pemain muda berlaga amal untuk tokoh sepak bola Lucky Acub Zaenal di Stadion Gajayana, Malang.Irfan Bachdim direkrut bersama-sama dengan Kim Jeffrey Kurniawan, pemain berdarah Indonesia-Jerman yang sebelumnya bermain di FC Heidelsheim.

Tim nasional

Tahun 2006, Irfan sempat hampir membela tim sepak bola U-23 Indonesia di Asian Games Qatar. Namun ia harus absen dari turnamen tersebut karena menderita cedera.
Dalam Piala AFF 2010, ia tergabung dalam timnas senior Indonesia di bawah pelatih Alfred Riedl. Debut pertama bersama timnas Indonesia ia awali ketika timnas menang 6-0 di laga persahabatan melawan Timor Leste, di Palembang pada 21 November 2010. Penampilan pertamanya bersama timnas dalam turnamen resmi terjadi pada 1 Desember 2010, saat Indonesia mengalahkan Malaysia 5-1 di Gelora Bung Karno pada ajang AFF 2010. Irfan sendiri mencetak 1 gol dalam pertandingan tersebut.
Ketikak Persema memutuskan hijrah dari Liga Super Indonesia ke Liga Primer Indonesia, Irfan sempat ingin meninggalkan Persema karena ancaman tidak dapat memperkuat timnas. Namun akhirnya ia memilih berkomitmen dengan Persema dengan menandatangani kontrak selama tiga tahun, karena terus-menerus diintimidasi oleh PSSI untuk keluar dari Persema,[11][12] meski beberapa klub LSI menawarkan kontrak besar. Akhirnya Menpora menjamin haknya untuk tampil di timnas dan ia dipanggil untuk memperkuat tim nasional U-23 Sea Games 2011 dan kualifikasi Olimpiade 2012.

Kamis, 07 Juli 2011

5 Akademi Sepakbola Terbaik di Dunia

Kesulitan ekonomi yang menimpa klub-klub di Eropa dan makin mahalnya harga pemain memaksa klub lebih menggali potensi muda dari akademi masing-masing atau lebih memilih membeli pemain-pemain muda yang masih murah.
Pemain berbakat itu banyak muncul dari pembinaan sepakbola dari usia dini. Eropa memiliki banyak sekolah sepakbola yang mencetak pemain-pemain berbakat.
Ini adalah lima akademi sepakbola yang kerap kali memunculkan nama-nama dengan bakat besar kepermukaan.
5. Ajax Amsterdam Football Academy
Ajax pernah menjadi nama yang besar di Eropa. Tapi sekarang tidak lagi, alasannya pemain-pemain yang mereka kembangkan banyak yang mencari keberuntungan diklub lain.
Nama besar seperti Johan Cruyff, Edwin Van Der Sar, Dennis Bergkamp, Patrick Kluivert, Marco Van Basten, pada masa lalu, Ryan Babel, Wesley Sneijder sampai Nigel De Jong, semuanya mengasah kemampuannya di Amsterdam sebelum pindah ke klub lain.
4. West Ham United Academy
West Ham memang sedang terpuruk dipapan klaseman Liga Inggris, tapi akademi ‘The Hammers’ adalah salah satu akademi sepakbola yang berhasil menghasilkan pemain-pemain hebat.
Ditahun 50an, Ted Fenton, manajer West Ham saat itu, mulai mendirikan akademi itu. Nama-nama legenda seperti Bobby Moore, Martin Peter dan Geoff Hurst masuk kedalam akademi ini.
Untuk masa modern, nama-nama beken seperti Paul Ince, Rio Ferdinand, Michael Carrick, Frank Lampard, Joe Cole, Glen Johnson, Jermain Defoe dan Anton Ferdinand telah menghasilkan banyak uang untuk klub London timur itu.

3. Sporting Lisbon Academy
Paulo Futre, Simao, Ricardo Quaresma, Nani, Joao Moutinho dan Hugo Viana, menghabiskan waktu mudanya di akademi klub Portugal itu.
 Akademi ini juga menghasilkan pemain-pemain termahal didunia sepakbola, tapi sayang uang yang dihasilkan bukan buat akademi yang telah membinanya. Luis Figo dibeli Barcelona 2.2 juta Poundsterling (Rp. 31 miliar) lalu dijual ke Real Madrid dengan 37 juta Poundsterling atau setengah triliun lebih.
yang paling mahal adalah, Cristiano Ronaldo, saat dilepas Sporting ke MU, CR7 hanya berharga 12.24 juta Poundsterling (Rp. 173 miliar). Tapi saat ditarik oleh Real Madrid, Ronaldo harus ditebus dengan harga fantastis 80 juta Poundsterling atau Rp. 1,2 triliun! harga itu menempatkan CR7 sebagai pemain termahal dunia.

2. Manchester United Academy
Akademi Manchester United tidak pernah berhenti mencetak bintang. Nama-nama besar seperti, Bobby Charlon dan Mark Huges berlatih di akademi United.
Di era sepakbola modern angkatan 90an akademi MU sukses merajai Inggris bahkan Eropa. David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs, Paul Scholes sampai Gary Neville adalah hasil binaan United. Angkatan ini bahkan sukses mempersembahkan gelar treble tahun 1999.
Di era sepakbola modern angkatan 90an akademi MU sukses merajai Inggris bahkan Eropa. David Beckham, Nicky Butt, Ryan Giggs, Paul Scholes sampai Gary Neville adalah hasil binaan United. Angkatan ini bahkan sukses mempersembahkan gelar treble tahun 1999.
Pemain-pemain muda akademi pun masih bermunculan, Frazier Campbell, Kieran Richardson, Ryan Shawcross serta Jonny Evans dan Darron Gibson adalah calon pengisi skuad utama ‘SetanMerah’ dimusim-musim depan.

1. La Masia Academy
Academy Barcelona atau La Masia berdiri tahun 1979, dan sejak itu selalu menghasilkan pemain-pemain yang mampu memaksimalkan bakatnya, Barcelona pun menjadi salah satu klub terbaik dunia sejak dulu sampai sekarang.
Akademi Barca mempunyai alumni ternama seperti, Ramon Caldere, Albert Ferrer, Josep Guardila, Victor Valdes, Pedro, Busquets, Charles Puyol dan Gerard Pique.
Bahkan pemain yang paling terkenal saat ini, Lionel Messi dan Xavi, juga mengasah kemampuannya di akademi klub Katalan itu.
Sedangkan pemain binaan Barca yang sukses saat pindah klub adalah, Ivan De La Pena, Luis Garcia, Mikel Arteta dan Cesc Fabrega.
Saat ini produk asli La Masia juga masih memperlihatkan kemampuannya. Bojan Krkic, Dos Santos sampai Thiago Alcantara adalah nama-nama masa depan klub juara La Liga itu.

Rabu, 06 Juli 2011

Tebak-tebakan Gokil dan Jawabannya

  1. Bagaimana teorinya membedakan kepala dan ekor  dari cacing ?
    • Jawabannya : Dikelitikin saja, nanti dilihat mana yang tersenyum,itulah wajahnya..
  2. Kenapa superman sayapnya di belakang ?
    • Jawabannya : Soalnya kalo di depan nanti dikira  mau cukur rambut he...he, , ,
  3. Siapa yang tau harga MONAS ?.....
    • Jawabannya : sopir bajaj, soalnya kalo ditanya "Monas berapa bang?" sopir bajaj "2000 neng!".
  4. Sate apa yang paling panjang di dunia?
    • Jawabannya : sate kang awal, kira kira  3 km  ke utara..he..he..
  5. Sebutkan minimal 3 macam buah dalam waktu 1 detik ! 
    • Jawabannya : Rujak!
  6. Monyet apa yang selalu ada di lapangan bola?
  7. Jawabannya : Monyetak gol...he..he..he..betul ndak?
  8. Bagaimana cara Babi lewat di depan buaya yang banyak ? Sedangkan jalan itu adalah jalan satu - satunya?
    • Jawabannya : Langsung lewat saja! Soalnya buayanya gak mungkin makan babi kan babi binatang haram..he..he..!!
  9. Bola apa yang disukai anak kecil?
    • Jawabannya : BolaEmon dong......ya ndak....?
  10. Kambing apa yang kakinya tiga?
    • Jawabannya : Kambing lagi nganter undangan! Satunya buat bawa undangan..he..he..
  11. Ikan apa yang pintar bahasa Inggris ?
    • Jawabannya : Ikan Asing !
  12. bis apa klo duduk rasanya sakittttttttttt bangettt?
    • Jawabannya : ya bis ulan tho...he..he.. 
Nah..udah dulu ya tebak-tebakan gokilnya, nanti saya buatain lagi yang lebih gokil. Ampe ketemu lagi sobat.....

Selasa, 05 Juli 2011

Sejarah Timnas, "ternyata pernah masuk piala dunia lho…!"


“Bila kita mengorek sejarah persepakbolaan nasional, momen Olimpiade Melbourne pada tahun 1956 masih dianggap sebagai salah satu prestasi yang paling fenomenal. Namun tahukah anda bila Indonesia pun ternyata pernah ikut Piala Dunia ?”
Bila kita mengorek sejarah persepakbolaan nasional, momen Olimpiade Melbourne pada tahun 1956 masih dianggap sebagai salah satu prestasi paling fenomenal. Kala itu timnas Indonesia yang dilatih Toni Pogaknik asal Yugoslavia berhasil masuk Olimpiade dan mencatat hasil gemilang dengan menahan Uni Soviet 0-0 dalam pertandingan pertama. Namun sebagian besar pemain kemudian mengalami cedera dan kelelahan sehingga harus takluk dalam pertandingan playoff dengan skor 0-4.
Belakangan, di saat demam piala dunia kembali melanda tanah air, mimpi Indonesia untuk tampil di pentas dunia kembali mengemuka. “Kapan yaa…, Indonesia masuk Piala Dunia ?” Pertanyaan seperti itu kerap terdengar di saat pesta empat tahunan kembali digelar.
Berbicara tentang Piala Dunia, Indonesia sebenarnya pernah berpartisipasi dalam pentas sepakbola antar negara terbesar itu. Mengusung nama Dutch East Indies (Hindia Belanda), Indonesia bermain untuk pertamakalinya pada Piala Dunia Perancis, 1938.
Para pemain asli Indonesia maupun warga Tionghoa dan Belanda bergabung dalam tim Hindia Belanda itu. Mereka diantaranya ; Anwar Sutan, Achmad Nawir, Mo Heng, Hong Djien, Henk Zomers, dan G Van Den Burg. Nama-nama mereka mungkin saja masih kurang akrab di telinga kita dibanding skuad tim Olimpiade Melbourne 1956 seperti Djamiat Dalhar, Thio Him Tjiang, Kiat Sek, Ramang, atau LH Tanoto (Tan Liong Houw) yang hingga kini masih melegenda.
Kendati bisa disebut berbau keberuntungan, karena Hindia Belanda tampil di Piala Dunia atas dasar penunjukan FIFA sebagai dampak Jepang yang urung tampil di event tersebut, namun kehadiran Dutch East Indies tetap tercatat dalam sejarah sebagai negara Asia pertama yang tampil di Piala Dunia.
Namun sungguh sayang pada pertandingan perdananya tim Hindia Belanda sudah harus menghadapi tim favorit, Hungaria. Sedikitnya 9000 penonton yang memenuhi Stade Velodrome Municipal di kota Reims, Perancis, 5 Juni 1938, sore hari itu menyaksikan tim bagaimana tim Hindia Belanda dikandaskan 0 – 6 (0 – 4) oleh Hungaria.
Achmad Nawir dkk. harus mengakui bahwa mereka kalah kelas dari Hungaria yang diperkuat bintang-bintang pada zamannya, seperti Gyorgy Sarosi dan Gyula Zsengeller. Gawang Hindia Belanda yang dijaga Mo Heng harus bobol sebanyak enam kali tanpa balas oleh tendangan Gyorgy Sarosi, Gyula Zsengeller maupun Kohut Vilmos dan Geza Toldi. Sarosi dan Zsengeller bahkan kemudian masuk daftar 3 besar pencetak gol terbanyak di Piala Dunia 1938.
Tim Indonesia saat itu memang bukan yang terbaik. Pasalnya pemain sekelas Djawad, Jazid, Moestaam atau Maladi tak dilibatkan. Boleh jadi bila mereka tergabung dalam skuad Dutch East Indies bisa lain ceritanya. Organisasi PSSI yang masih belum rapi sebelum Indonesia merdeka kemungkinan menjadi penyebab Belanda melakukan sistem asal-asalan dalam hal perekrutan pemain.
Hingga 1945 memang tercatat masih ada dua badan yang mengendalikan sepakbola Indonesia yakni PSSI dan Nederland Indische Voetbaal Unie (NIVU). Baru pada tahun 1949, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan nama PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Kendati demikian prestasi tim Hindia Belanda yang diasuh Johannes Van Mastenbroek itu tetap patut diberi acungan jempol, karena tim sekelas Swedia pun dibantai Hungaria di babak semifinal dengan skor telak 0 – 5. Dan Hungaria-lah yang kemudian tampil sebagai runner up di kejuaran tahun 1938 tersebut, setelah Hungaria menyerah 2 – 4 pada Italia di babak final.
Berikut ini data skuad tim Hindia Belanda (Dutch East Indies) pada Piala Dunia Perancis pada 1938 : Tan Mo Heng (GK), Anwar Sutan, Tan Hong Djien, Frans Hu Kon, Frans Meeng, Tjaak Pattiwael, Jack Samuels, Suvarte Soedarmadji, Achmad Nawir, Henk Zomers, Hans Taihuttu
Cadangan
J Harting (GK), Bing Mo Heng, G Van Den Burg, G Faulhaber, R Telwe, Tan Se Han, Dorst, Teilherber
Pelatih : Johannes Van Mastenbroek. (indra kh/ berbagai sumber*) Piala Dunia 1938

Daftar 22 Pemain Legenda Nama Posisi Karier Timnas Julukan Dan Sedikit Cerita teantang Para Pemain

Maulwi Saelan Kiper 1951 – 1958 Benteng Beton
Yudo Hadianto Kiper 1961 – 1974 Papi
Yuswardi Bek Kanan 1967 – 1974 Ajo
Simson Rumahpasal Bek Kanan 1975 – 1982 Palang Pintu
Yohanes Auri Bek Kiri 1975 – 1985 Black Silent
Didik Darmadi Bek Kiri 1978 – 1986 -
Anwar Ujang Stopper 1965 – 1978 Beckenbauer
Robby Darwis Stopper 1985 – 1997 Irung
Ronny Pattinasarany Libero 1970 – 1982 Si Kurus
Herry Kiswanto Libero 1985 – 1993 Akang
Iswadi Idris Gelandang 1968 – 1980 Si Bos/Boncel
Junaedi Abdillah Gelandang 1968 – 1983 Pet
Zulkarnaen Lubis Gelandang 1983 – 1986 Maradona
Rully Rudolf Nerre Gelandang 1977 – 1989 Jean Tigana
Nobon Kayamudin Gelandang 1971 – 1979 Biang Kerok
Surya Lesmana Gelandang 1963 – 1972 Jango Jakarta
M Basri Gelandang 1962 – 1973 Teta
Tio Him Tjiang Gelandang 1951 – 1958 -
Risdianto Penyerang 1971 – 1981 Gayeng
Bambang Nurdiansyah Penyerang 1979 – 1986 Gerd Muller
Ricky Yakobi Penyerang 1982 — 1993 Paul Marinir
Widodo C. Putra Penyerang 1991 — 1996 -
cerita-cerita tentang Pemain Legenda Timnas :
Widodo Cahyono Putro (lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 8 November 1970; umur 39 tahun) adalah seorang pelatih dan pemain sepak bola legendaris Indonesia[1]. Posisinya saat bermain adalah penyerang. Ia paling dikenal sebagai pencetak gol terbaik Asia pada tahun 1996, melalui tendangan saltonya saat melawan Kuwait di Piala Asia 1996.[2] Saat ini ia menjadi pelatih tim U-23 Indonesia bersama Bambang Nurdiansyah.[3] Di Liga Indonesia, ia pernah memperkuat Persija Jakarta dan Petrokimia Putra Gresik. Ia juga pernah melatih tim Petrokimia Putra Gresik.
Putro juga dikenal sebagai pemain yang tidak bertemperamental. Ia tidak pernah mendapat kartu merah dan hanya satu kali mendapat kartu kuning.
Kini dia melatih klub Liga Super Indonesia, Persela Lamongan menggantikan posisi M Basri.
Maulwi Saelan (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928; umur 81 tahun[1]) adalah salah satu pemain sebak bola legendaris [2] dan juga pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga pernah menjadi salah satu ajudan pribadi presiden Soekarno. Selain itu ia dikenal juga sebagai pendiri Taman Siswa Makassar.
Yudo Hadianto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941; umur 68 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1] era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia[2]. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.
Yuswardi (lahir di Medan, Sumatera Utara, 2 Juli 1945; umur 64 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an yang saat ini melatih tim PSMS Medan.
Simson Rumah Pasal (lahir di Desa Lohiatala, Seram Barat, Maluku, 21 Agustus 1950; umur 59 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an dan awal 1990-an.
Anwar Ujang (lahir di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, 2 Maret 1945; umur 65 tahun) adalah mantan pemain nasional sepakbola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an dari Klub Persika Karawang.Sebelum menjadi pemain sepakbola sempat menjadi karyawan Pertamina pada tahun 1960[1]. Pemain dengan nomor punggung 5 ini pertama kali bergabung dengan PSSI pada April 1965 dan menjadi Kapten PSSI pada tahun 1971 – 1974[2]. Pada masa jayanya, ia sering dijuluki Beckenbauer Indonesia dan bersama tim Indonesia sering melakukan pertandingan-pertandingan melawan tim dari Eropa dan Asia.
Robby Darwis (lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Oktober 1964; umur 45 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] yang terkenal pada tahun 1990-an dan merupakan salah satu bintang Persib Bandung pada era tersebut. Ia berposisi sebagai stoper (bek tengah). Pada musim pertama Liga Indonesia, ia membawa Persib menjadi juara sebagai kapten tim. Darwis pernah pula bermain di Liga Malaysia, memperkuat Kelantan FC. Di tim nasional Indonesia (1987-1997), ia tampil sebanyak 53 kali dan mencetak 6 gol. Di Liga Indonesia 2007 Robby Darwis menjadi asisten pelatih Persib (Arcan Iurie), dan cuti dari pekerjaan sebelumnya yaitu sebagai bankir di BNI 1946.
Ronald Hermanus Pattinasarany atau lebih dikenal dengan nama Ronny Pattinasarany (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949 – meninggal di Jakarta, 19 September 2008 pada umur 59 tahun[1]) adalah pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[2].
Ronny meninggal dunia hari Jumat, 19 September 2008, pukul 13.30 WIB, dalam usia 59 tahun, akibat kanker hati yang dideritanya sejak Desember 2007. Ronny pergi meninggalkan seorang istri, Stella Pattinasarany, dan tiga anak Benny, Yerry, dan Cita yang mendampinginya sampai saat-saat terakhir di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulo Mas, Jakarta Timur.Era 1970-an hingga 1980-an, saat sepak bola Indonesia menjadi salah satu raksasa di Asia, Ronny Pattinasary menjadi salah satu yang ikut melambungkan nama tim merah-putih. Pria berdarah Ambon yang lahir di Makassar itu dikenal sebagai sosok pemain papan atas.
Penghargaan yang diperolehnya seperti Pemain All Star Asia tahun 1982, Olahragawan Terbaik Nasional tahun 1976 dan 1981, Pemain Terbaik Galatama tahun 1979 dan 1980, dan meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.
Perjalanan kariernya sebagai pemain bola dimulai bersama PSM Junior pada tahun 1966. Dua tahun kemudian berhasil menembus level senior tim PSM Makassar. Dari Makassar, Ronny hengkang ke klub Galatama, Warna Agung, yang dibelanya dari tahun 1978 hingga 1982. Di sinilah kariernya mulai menanjak sehingga dia pun terpilih masuk dan menjadi kapten timnas. Tahun 1982, Ronny hengkang ke klub Tunas Inti. Hanya setahun di sana, dia pun memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.
Herry Kiswanto (lahir di Banda Aceh, Aceh, 25 April 1955; umur 54 tahun) adalah seorang pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1]. Posisinya di lapangan sebagai libero. Dalam karirnya ia hanya pernah mendapat sekali kartu kuning yaitu ketika membela Krama Yudha Tiga Berlian melawan Pelita Jaya di era Galatama[2].
Setelah sukses meloloskan klub Persmin Minahasa ke kompetisi Super Liga di musim 2007/2008 lalu, salah satu pemain legendaris yang biasa dipanggil “Akang” ini, dikontrak oleh klub Persiraja Banda Aceh sebagai pelatih kepala di kompetisi Divisi Utama untuk musim 2008/2009.
Menyusul terjadinya krisis internal terkait masalah pendanaan di tubuh Persiraja Banda Aceh, yang juga menimpa banyak klub sepak bola lainnya di tanah air, sejak berakhirnya putaran pertama kompetisi Divisi Utama, ia memutuskan mundur dari Persiraja Banda Aceh dan langsung diikat kontrak untuk menangani klub Persikab Bandung menggantikan pelatih Deni Syamsuddin yang baru didepak dari tim yang bermarkas di kota Soreang, Kabupaten Bandung itu.
Iswadi Idris (lahir di Banda Aceh, Aceh, 18 Maret 1948 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2008 pada umur 60 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1]. Pemain yang dijuluki “Boncel” karena tubuhnya relatif pendek (tinggi 165 cm) ini termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Ia memperkuat timnas PSSI sebagai pemain gelandang pada era 1960-an dan 1970-an. Selama menjadi pemain, Bang Is, demikian ia akrab disapa, sangat menggemari nomor punggung 13.
Junaedi Abdillah (lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 21 Februari 1948; umur 62 tahun) adalah mantan pemain nasional sepakbola Indonesia.Junaidi menimba ilmu sepakbola bersama klub Indonesia Muda. Dia juga pernah belajar di Diklat Salatiga pada 1960-an bersama Oyong Liza, Sartono Anwar dan Harsoyo. Dari Salatiga, Junaidi dan Oyong dipanggil masuk tim nasional junior. Di tim yang disebut PSSI B itu, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Juior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepakbola Israel masih tergabung di zona Asia.
Keberhasilan itu mengantar Junaidi dan beberapa rekan lainnya seperti Oyong, Suaeb Rizal, Harsoyo, Abdul Kadir, Waskito dan Bob Permadi ke tim nasional senior atau PSSI A. Di tim ini, mereka bersaing dengan seniornya seperti Soetjipto Soentoro dan Jacob Sihasale. Junaidi juga pernah memperkuat Indonesia di kualifikasi Olimpiade Munich 1972 bersama dengan Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani[1].
Zulkarnain Lubis (lahir di Binjai, Sumatera Utara, 21 Desember 1958; umur 51 tahun) adalah salah seorang mantan pemain nasional sepak bola Indonesia dari klub PSMS Medan pada era 1970-an. Dia adalah pemain PSMS Medan (1979-1980) dan Mercu Buana Medan (1981-1982), sebelum memperkuat klub-klub elite di Pulau Jawa, di antaranya Yanita Utama Bogor.Pada eranya ia sering dijuluki sebagai Maradona Indonesia karena ia sering beroperasi di lini tengah, gocekan dan umpan-umpan matang dari kaki Zulkarnaen membuat para penyerang depan seperti mendapat pelayanan kelas satu. Visi bermain bola yang tinggi membuat Zulkarnaen mampu membaca pergerakkan pemain belakang lawan sekaligus menentukan ke mana teman di lini depan harus bergerak. Singkatnya, aksi pemain yang pada masa jayanya memiliki ciri rambut gondrong ini memang sangat memikat.
Talenta itu juga yang membawa Zulkarnaen menghuni skuad timnas. Di tim Merah Putih, striker seperti Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman dan Noah Meriem merasakan sekali matangnya umpan-umpan Zulkarnaen. SEA Games, Pra Piala Dunia, dan Asian Games adalah ajang-ajang internasional yang pernah diikuti Zulkarnaen.
Di level klub, pemain ini sempat mengecap prestasi puncak bersama Krama Yudha Tiga Berlian. Dua kali Zulkarnaen mengantarkan klub ini ke jenjang juara Kompetisi Galatama.
Rully Rudolf Nere (lahir di Papua, 13 Mei 1957; umur 52 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] . Ia pernah memperkuat timnas nasional beberapa kali pada periode tahun 1980-an. Dalam kompetisi liga, ia memperkuat Persipura Jayapura.
Saat ini ia adalah pelatih dari PS Palembang. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI periode 2003 – 2007. Sebelumnya ia pernah melatih PSPS Pekanbaru, Persiba Bantul dan PSSI U-20.
Mitchell Leandro Nere, anak dari Rully Nere sekarang bermain untuk PSMS Medan dalam Liga Super Indonesia.
Liem Soei Liang alias Surya Lesmana (lahir di Balaraja, Tangerang, 20 Mei 1944; umur 65 tahun) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun 1960an. Ia memperkuat tim nasional PSSI selama 10 tahun (1963-1972) dan Persija Jakarta selama 14 tahun (1962-1975). Ketika masa jayanya, Surya Lesmana dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.
Surya Lesmana mengawali karier sepak bola di Klub Union Makes Strength (UMS) pada tahun 1958, seangkatan dengan Mulyadi (Tek Fong). Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Soen Joe) kemampuannya semakin terasah. Karena kemampuan individunya yang bagus, Ia kemudian diminta bergabung dengan Persija Jakarta pada tahun 1962 dan kemudian diminta memperkuat tim nasional pada tahun 1963. Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus dan menjadi pujaan banyak orang.
Surya Lesmana pensiun dari tim nasional pada tahun 1973. Namun namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola tanah air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar membuat klub-klub asing masih meliriknya. Surya mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak sebagai pemain klub Mac Kinan Hongkong selama satu musim pada tahun 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar kala itu.
Kejayaan seringkali membuat orang menjadi lupa diri, demikian juga dengan Surya Lesmana. Pada masa keemasannya Ia tenggelam bersama kesenangan duniawi. Surya menghambur-hamburkan semua penghasilan yang diperoleh dari bermain bola. Pada massa tuanya, Ia hidup sebatang kara. Ia tidak memiliki rumah ataupun kendaraan dan tidak menikah. Bahkan Ia harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, kawasan Glodok, Jakarta Barat. Ia tinggal secara cuma-cuma karena jasanya mendidik anak pemilik rumah dan anak-anak di lingkungan sekitar dalam bermain bola. Surya tidak mau menyesali terus keadaannya saat ini. “Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati,” ujarnya.
Surya masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia di lapangan UMS. Rutinitas lain yang dilakoni lelaki ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu. Dengan alasan berolahraga, Ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. “Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau sudah siang, saya naik bus,” ujarnya.
Sampai saat ini Surya bersama dengan Mulyadi menjadi pelatih di klub UMS di kawasan Petak Sin Kian, Mangga Besar. Anak keempat dari enam bersaudara ini tidak mempunyai pekerjaan lain. Setiap hari Surya menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya. Meskipun harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, Ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya.
M. Basri (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1942; umur 67 tahun) adalah mantan pemain sepak bola nasional Indonesia dan sekarang melatih beberapa klub sepak bola di Indonesia.Basri memulai karirnya di Klub MOS pada tahun 1961 dan dilanjutkan di klub Pardedetex dan HBS Surabaya.
Basri sempat membela timnas di Asian Games 1962. Pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia. Selanjutnya, Basri terus tampil pada dua Asian Games berikutnya. Ia juga menjadi bagian timnas saat Indonesia turun di Ganefo.
Persebaya Surabaya adalah tim pertama yang diasuh Basri. Pada musim 1977, Basri berhasil mengantarkan Persebaya jadi juara Kompetisi Perserikatan. Usai memberikan prestasi puncak bagi Persebaya, Basri pindah ke Niac Mitra. Nampaknya Basri juga ingin menjajal kerasnya Kompetisi Galatama. Lagi-lagi keampuhan racikan Basri terbukti. Tiga kali Niac Mitra dibawa Basri jadi juara Galatama, masing-masing pada 1981, 1982, dan 1986.
Kenyang merasakan persaingan di era Kompetisi Perserikatan dan Galatama, karir Basri sebagai pelatih terus berlanjut saat sepak bola Indonesia memasuki fase Liga Indonesia. Sebagai putra derah, di awal Liga Indonesia bergulir, Basri sangat bangga bisa menukangi PSM Makassar. Nyaris saja Piala Presiden, lambang supremasi Liga Indonesia berhasil dipersembahkan Basri bagi tanah kelahirannya. Sayang, di final Liga Indonesia 1995/1996, PSM Makassar kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya di final. PSM Makassar pun gagal jadi juara Liga Indonesia untuk kali pertama.
Selain PSM, di era Liga Indonesia, Basri juga pernah menangani Arema Malang, Persita Tangerang, dan terakhir Persela Lamongan di musim 2007. Kala menangani Persita di musim 2004, Basri mengajukan pengunduran diri dari posisi pelatih kepala. Hal ini dilakukan karena Persita menelan kekalahan beruntun.
Sebagai pelatih, Basri dikenal keras dan tegas. Ia selalu menegakkan disiplin tinggi pada tiap tim yang diasuhnya. Hingga kini, Basri bisa dikatakan sebagai pelatih lokal paling senior yang masih beredar di kancah sepak bola nasional Indonesia.
Thio Him Tjiang (lahir di Jakarta, 28 Agustus 1929; umur 80 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1950an. Ia merupakan atlet berprestasi hasil binaan Klub Union Makes Strength (UMS), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia dan klub yang tergabung dalam Persija Jakarta.
Thio Him Tjiang besar dan tumbuh dari keluarga pemain sepak bola. Ayahnya, Thio Kioe Sen, adalah pemain UMS. Thio Kioe Sen mempunyai tujuh anak, enam lelaki dan satu perempuan. Semua anak lelakinya; Thio Him Gwan, Thio Him Tjiang, Thio Him Toen, Thio Him Eng, Thio Him Boen, dan Thio Him Hok adalah pemain UMS. Namun di antara semuanya yang paling terkenal adalah Thio Him Tjiang.
Thio Him Tjiang dikenal sebagai orang yang mempunyai loyalitas tinggi. Ia tetap setia bermain untuk UMS walaupun pernah diminta untuk bermain di Klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), musuh bebuyutan Klub UMS. Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Sun Yu), prestasi Thio Him Tjiang semakin bersinar. Ia bukan hanya berprestasi di UMS melainkan juga masuk menjadi pemain inti Persija dan tim nasional PSSI.
Tim nasional yang saat itu diperkuat oleh Ramang, Tan Liong Houw, Thio Him Tjiang, Phoa Sian Liong, Kwee Kiat Sek, Maulwi Saelan, Chaeruddin Siregar, dan Witarsa berhasil masuk perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Indonesia yang awalnya sempat menahan 0-0 tim tangguh Uni Soviet, akhirnya kalah 0-4 pada pertandingan yang dilanjutkan hari berikutnya. Uni Soviet akhirnya menjadi juara setelah di final mengalahkan Yugoslavia.
Thio Him Tjiang yang bermain sebagai gelandang, memperkuat Tim Merah Putih selama 8 tahun (1951-1958). Setelah pensiun sebagai pemain, Ia tidak mau melanjutkan karir sebagai pelatih sebagaimana teman-temannya yang lain. Thio Him Tjiang tetap memegang teguh prinsip: ingin dikenang sebagai pemain sepak bola saja bukan sebagai pelatih sepak bola.
Risdianto (lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 3 Januari 1950; umur 60 tahun) adalah seorang mantan pemain nasioanl sepak bola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an bersama Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.Pria yang akrab disapa Ris ini pada usia 14 tahun sudah memperkuat Persekap Pasuruan dan ikut membela tim sepak bola Pekan Olahraga Nasional Jawa Timur pada 1969. Setahun lewat, dia dipanggil masuk skuad tim nasional hingga 1981. Selama satu dekade, Ris malang melintang mewakili Indonesia ke sejumlah turnamen dan kejuaraan, termasuk SEA Games 1981, yang menghasilkan medali perunggu bersama antara lain Iswadi Idris, Abdul Kadir dan Hartono. Klub profesional pertamanya dia awali dengan bergabung bersama UMS Jakarta, yang dilatih Dr Endang Witarsa. Dari sana dia hijrah ke Persija. Karier klubnya banyak ia habiskan bersama Warna Agung selama 1978-1983.
Ris adalah pemain Indonesia pertama yang dikontrak selama satu musim oleh Mackinnons FC, salah satu tim Divisi Utama Hong Kong (1974-1975). Ia pemain sepak bola Indonesia kedua yang dipinang klub luar negeri, setelah Iswadi Idris. Dia meninggalkan Hong Kong untuk bergabung dengan tim nasional Pra-Olimpiade 1976, yang saat itu langkah tim nasional dihentikan Korea Utara lewat drama adu penalti.
Bambang Nurdiansyah (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 28 Desember 1958; umur 51 tahun) adalah seorang pelatih dan mantan pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1] Mulai musim 2008 ia melatih Arema Malang di Liga Super Indonesia,[2] namun mengundurkan diri setelah baru menjalani 4 pertandingan karena merasa ditekan kelompok pendukung Arema, Aremania.[3] Ia kemudian melanjutkan musim 2008/09 dengan menjadi pelatih PSIS Semarang. Sebelumnya ia pernah melatih klub Pelita Krakatau Steel pada tahun 2006. Pada musim 2005 ia melatih di PSIS Semarang, namun pindah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga. Selain itu, Bambang juga pernah melatih Persita Tangerang.
Di sela jeda Liga Indonesia musim 2005 dengan musim 2006, Bambang sempat ditunjuk oleh PSSI untuk melatih sementara Indonesia untuk pertandingan melawan Afrika Selatan dalam rangka ulang tahun Golongan Karya.
Ia juga pernah menjadi pelatih tim nasional sepak bola putri pada SEA Games XXII.
Sebelum menjadi pelatih, ia adalah seorang pemain sepak bola dan pernah memperkuat Pelita Jaya dan tim nasional Indonesia selama 11 tahun (1980-1991). Posisinya adalah penyerang (striker).
Ricky Yacob (lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963; umur 46 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia [1].Masa keemasan Ricky Yacob terjadi pada paruh kedua dekade 1980-an. Karir sepak bolanya banyak dihabiskan bersama klub Arseto Solo. Selain itu ia pernah memperkuat PSMS Medan sewaktu merebut Piala Suratin. Ia selalu bersaing dengan Bambang Nurdiansyah (Krama Yudha/Pelita Jaya) untuk memperebutkan satu tempat di tim nasional. Kini, Ricky Yacob lebih dikenal dengan nama Ricky Yacobi.
Selama bermain di Indonesia, Ricky tidak pernah membawa klubnya menjadi juara (Galatama/Liga Indonesia). Namun, ia sempat dua kali turut mempersembahkan medali emas SEA Games pada tahun 1987.
Ricky sangat memesona penggila bola nasional dengan gayanya yang khas. Kurniawan Dwi Yulianto, salah satu penyerang terbnaik Indonesia yang bermain di era 1995-2005 sangat mengidolakannya. Ricky kerap dijuluki Paul Brietner Indonesia dan merupakan penyerang opurtunis yang mengandalkan kecepatan dalam bermain. Tampangnya yang lumayan ganteng dan rambutnya yang gondrong membuat Ricky begitu dikenal. Aksi puncakya terjadi di ajang Asian Games 1986 di Korea Selatan.
Ketika itu, tim nasional Indonesia hanya kalah 0-2 dari Arab Saudi dan bermain imbang 1-1 melawan Qatar. Tim Indonesia lalu menang 1-0 lawan Malaysia dan menang 4-3 (penalty) melawan Uni Emirat Arab (UEA). Ricky mengagetkan orang ketika ia mencetak gol sewaktu melawan UEA. Gol voli dengan tendangan langsung tanpa sempat menyentuh tanah, ia lesakan dari sisi kiri gawang UEA dalam jarak yang amat jauh.
Setelah itu, nama Ricky semakin beken setelah ia dibeli Klub Matsushita Jepang pada tahun 1988. Sayang, ia tak mampu beradaptasi dengan udara dingin di Jepang. Hanya empat pertandingan yang sempat ia ikuti—dengan satu gol sempat dicetak.
RSSSF hanya mencatat bahwa Ricky sempat 31 kali memperkuat tim nasional sepanjang enam tahun (9-12-1985 sampai 11-6-1991). Hanya lima gol yang sempat dicatat. Tapi, sepertinya, jumlah gol itu tidak akurat. Ricky setidaknya mencetak 15 gol untuk tim nasional Indonesia di ajang resmi.
Ramang (1928 – Makassar, 26 September 1987) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo’lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.

Senin, 04 Juli 2011

Nasib Sepakbola Indonesia

Tidak di lapangan tidak pula di ruang sidang (baca: Kongres a.k.a ngawangkong teu beres-beres, bahasa sunda, hehe) “sepakbola” kita tetap ricuh. Jika di lapangan para (sebagian) pemain tidak (selalu) puas dengan keputusan wasit sehingga harus ricuh. Protes keras bahkan sampai mengeroyok wasit di lapangan. Belum lagi pendukung tim yang fanatik melempar botol minuman ke tengah lapangan dan kisruh lainnya yang seakan tidak pernah ada habisnya. Begitupula dengan para pengelolanya, sama-sama kisruh.
Rekan blogger semua dan seluruh masyarakat Indonesia khususnya pecinta sepakbola menyaksikan betapa mirisnya “pemerintah” sepakbola kita ricuh akibat perbedaan pendapat dan keinginan. Satu pihak (komite normalisasi) berujar, “kita harus taat aturan serta keputusan FIFA.” demikian pula pihak lainnya (kelompok 78) berkoar, “Tidak ada dasar melarang seseorang mengajukan diri sebagai balon ketum PSSI.”
Huh kisruh bin ricuh. Kepentingan politikkah? hmmm yang jelas saya mengacungi jempol kepada Mantan Menpora, Adhyaksa Dault yang dengan JANTAN mengundurkan diri dari bursa ketum PSSI karena beliau menilai pemilihan ketum PSSI sarat dengan muatan politik.
Sepakbola dan Politik? Nyambungkah? Dikatakan nyambung bisa asal disambungkan dengan politik yang bersih dan santun, namun adakah politik yang seperti itu? Hmmm… politik “nipu ka jalma leutik, bahasa sunda yang artinya menipu rakyat kecil.” Namun jika politik dengan dasar kepentingan pribadi bahkan kelompok? Aduh nasib sepakbola kita di ujung tanduk.
FIFA memang bukan Tuhannya sepakbola tapi seluruh naungan sepakbola internasional berada di bawah bendera FIFA, oleh karena itulah kita sering menyaksikan bendera fair-play by FIFA yang dibawa ketengah lapang sesaat sebelum pertandingan berlangsung. Ya, FIFA bukanlah Tuhannya sepakbola tapi keberlangsungan sepakbola satu negara di kancah internasional ada di tangan FIFA.
Jadi, kisruh kongres PSSI bukanlah masalah siapa yang benar dan siapa yang salah. Tetapi “kepentingan politik” yang terlalu dominan.
Ingat… dalam Politik, tidak kawan & lawan abadi yang ada hanya kepentingan pribadi yang abadi.
Nasib sepakbola kita, sepakbola Indonesia… hiks

Jadwal dan Pembagian Grup Copa America


Turnamen Copa America dimulai Jumat (1/7) atau Sabtu pagi WIB dan berakhir 24 Juli 2011 di Argentina. Partai pembukaan akan mempertemukan tuan rumah Argentina versus Bolivia di Grup A. Laga ini berlangsung di kota La Plata.

Juara bertahan Brasil yang berada di Grup B baru akan memainkan partai pertamanya, Minggu (3/7) waktu setempat atau Senin WIB di La Plata. Brasil akan ditantang Venezuela.

Turnamen ini diikuti oleh 12 negara, terdiri atas 10 negara Zona Amerika Selatan (CONMEBOL) dan dua dari Amerika Utara-Tengah (CONCACAF), yakni Meksiko dan Kosta Rika.

Ke 12 negara itu dibagi dalam tiga grup; A, B dan C. Setelah melalui babak penyisihan grup dengan sistim setengah kompetisi, selanjutnya delapan tim akan lolos ke babak perempat final. Ke delapan tim itu adalah juara dan runner-up dari setiap grup ditambah dua peringkat ketiga terbaik.

Berikut adalah pembagian grup Copa America:
Grup A: Argentina, Bolivia, Kolombia, dan Kosta Rika.
Grup B: Brasil, Ekuador, Paraguay, dan Venezuela.
Grup C: Uruguay, Chile, Peru, dan Meksiko.

Jadwal Pertandingan:
Babak Penyisihan Grup, 1-13 Juli
Grup A:
Argentina vs Bolivia (1/7)
Kolombia vs Kosta Rika (2/7)
Argentina vs Kolombia (6/7)
Bolivia vs Kosta Rika (7/7)
Kolombia vs Bolivia (10/7)
Argentina vs Kosta Rika (11/7)

Grup B:
Brasil vs Venezuela (3/7)
Paraguay vs Ekuador (3/7)
Brasil vs Paraguay (9/7)
Venezuela vs Ekuador (9/7)
Paraguay vs Venezuela (13/7)
Brasil vs Ekuador (13/7)

Grup C:
Uruguay vs Peru (4/7)
Chile vs Meksiko (4/7)
Uruguay vs Chile (8/7)
Peru vs Meksiko (8/7)
Chile vs Peru (12/7)
Uruguay vs Meksiko (12/7)

Perempatfinal 16-17 Juli
(Q1) Juara Grup A vs peringkat tiga terbaik pertama
(Q2) Runner Up Grup A vs Runner Up Grup C
(Q3) Juara Grup B vs peringkat tiga terbaik kedua
(Q4) Juara Grup C vs Runner Up Grup B

Semifinal 19-20 Juli
(S1) Winner Q1 vs Winner Q2
(S2) Winner Q3 vs Winner Q4

Perebutan Posisi Ketiga, 23 Juli
Loser S1 vs Loser S2

Final 24 Juli 2011, di Buenos Aires
Winner S1 vs Winner S2

5 Pemain Sepak Bola Asia Terbaik di Eropa 2011


2010 menjadi tahun yang cukup penting bagi perkembangan sepakbola Asia, bila dilihat dari menyusutnya selisih antara kualitas tim nasional negara-negara Asia dengan tim nasional terkenal dari benua lainnya, tidak terkecuali negara-negara Amerika Latin dan Eropa.
Memang tidak ada kejutan luar biasa macam Korea Selatan ketika melaju ke semifinal Piala Dunia 2002 di kandang sendiri, tetapi melajunya negara Ginseng tersebut diiringi Jepang ke babak 16 besar tanpa kontroversi sedikit pun di Afrika Selatan patut dililihat sebagai tanda kemajuan. Ini tidak bisa dilepaskan dari makin banyaknya pemain Asia yang berlaga di Eropa, dan peran penting yang dimainkan beberapa dari pemain Asia tersebut di klubnya masing-masing.
Terkait dengan itu, supersoccer menyorot 5 pemain yang telah bersinar di Eropa dalam setahun belakangan ini. Mungkin saja di masa depan sosok mereka akan dilihat sebagai pembuka jalan bagi lebih banyak pemain Asia untuk berlaga di liga-liga elit Eropa, sama halnya seperti Cha Bum Kun dan Yasuhiko Okudera sebelumnya.
1 1.Park Ji-Sung (Korea Selatan - Manchester United)
Gelandang tidak kenal lelah Manchester United ini menjadi nama yang pertama melesat ke otak kami saat memikirkan pemain Asia di Eropa. Lebih sukses dari kebanyakan pendahulunya, Park bisa dikatakan sebagai pemain Asia pertama yang berhasil menjadi komponen penting di salah satu tim terbesar Inggris. Mungkin pada awalnya muncul anggapan sinis bahwa dirinya hanya dibeli untuk membuat kaos United tambah laku di pasar Asia timur, tetapi kini tidak ada yang bisa membantah bahwa dirinya adalah seorang big game player. Gol-gol yang dicetaknya melawan Arsenal, Chelsea, dan Liverpool lebih dari cukup sebagai bukti predikat tersebut.

2 2.Keisuke Honda (Jepang - CSKA Moscow)
Pemain Asia terbaik di Piala Dunia 2010. Bermain untuk CSKA Moscow, Honda menjulang tinggi sebagai satu-satunya pemain sepakbola yang menguasai bola liar Jabulani selain Diego Forlan, ketika membela Jepang di Afrika Selatan. Dengan peran 'false 9' yang ditempatinya, Honda selalu menebar kekacauan di pertahanan lawan, tidak hanya dengan teknik tingginya, tetapi juga dengan pergerakannya dan daya kerjanya.
    3.Shinji Kagawa (Jepang - Borussia Dortmund)
Siapa sangka pemain muda asal Jepang ini akan menjadi pembelian terbaik Bundesliga musim ini? Aksinya dalam menyerang dan menarik pemain lawan telah menjadi salah satu faktor utama tim muda Borussia Dortmund yang begitu mempersona menjadi juara paruh musim di Jerman.
4 4.Tim Cahill (Australia - Everton)
Ingat, Australia juga kini terhitung sebagai anggota konfederasi sepakbola Asia (AFC), sehingga pemain andalan mereka, Tim Cahill layak dimasukkan ke daftar ini. Bermain untuk Everton, Cahill terus menjadi momok bagi tim lawan dengan determinasinya dan kemampuannya di udara -meskipun tubuhnya tidak tinggi-tinggi amat.
5   5.Lee Chung-Yong (Korea Selatan - Bolton Wanderers)
Kini Park Ji-Sung punya saingan untuk memperebutkan pemain Korea Selatan terbaik di Liga Inggris. Muda, cepat, dan bertalenta, Lee Chung Yong terus mempesona di sektor sisi lapangan untuk Owen Coyle dan pasukan Bolton Wanderers-nya.