Jumat, 10 Juni 2011

cerita sepak bola/football stories

indonesia
Banyak cerita menarik bila kita berbicara tentang sepakbola, bukan hanya ketatnya persaingan antar klub sepakbola dalam meraih prestasi atau serunya pertandingan di lapangan. Sepakbola yang begitu digemari oleh manusia dari berbagai penjuru dunia, seakan telah menjadi “agama baru” di era modernisasi seperti saat ini. Lihat saja betapa banyaknya pasang mata yang menyaksikan sebuah pertandingan dalam level klub seperti Liga Inggris, Liga Spanyol, Liga Italia, dan Liga Champions Eropa .
Kisah sepakbola tidak hanya sebatas itu saja, sepakbola juga menjadi ajang kampanye politik. Terpilihnya Silvio Berlusconi (pemilik klub Liga Italia AC Milan) menjadi perdana menteri Italia pada tahun 1994 tak terlepas dari sepakbola. Matt Frei dalam bukunya Italia the Unfinished Revolution (1997) dan Martin Clark dalam Modern Italia 1871-1995 (1996) mengatakan bahwa Berlusconi terpilih disebabkan kecerdikannya memilih momen yang tepat.[1] Ia muncul di saat masyarakat Italia bosan dengan jargon politik seperti demokrasi, liberal, sosialis, sosial demokrat. Dia justru muncul dengan jargon Forza Italia (Majulah Italia) dalam panggung politik, padahal istilah itu sangat dekat dengan sepakbola (karena sering diteriakan oleh penonton sepakbola di Italia).[2] Tak lama kemudian, Berlusconi pun menjadi perdana menteri Italia. Kita juga bisa melihat Pele (legenda tim Brasil) yang juga pernah menjadi menteri olahraga di negaranya, selain Pele ada juga George Weah yang menjadi legenda AC Milan dan Liberia yang pernah mengikuti pemilihan presiden meski tidak menang namun dukungan untuknya tidaklah sedikit. Pada tahun 1989 Fernando Collor de Mello (yang juga pernah memimpin klub sepakbola di Brasil) berhasil menjadi Presiden Brasil di usia 40 tahun.[3]
Sepakbola juga menjadi cermin dari pluralisme di mana sekat-sekat seperti ras, agama, warna kulit dan lain sebagainya bisa tergabung menjadi satu kesatuan dalam sepakbola. Kita bisa melihat tim nasional Prancis ketika menjuarai Piala Dunia 1998, banyak pemain keturunan yang bukan asli Prancis justru menjadi tulang pungung tim nasional Prancis seperti Zinedine Zidane (keturunan Aljazair), Christian Karembeu (kelahiran Kaledonia Baru), Youri Djorkaeff (keturunan Maroko), David Trezeguet (keturunan Argentina), Bixente Lizarazu (keturunan Spanyol), Patrick Vieira (keturunan Senegal), Lilian Thuram (kelahiran Guadeluoupe), Thiery Henry (orang tuanya berasal dari Guadeluope-Martinique). Selain Prancis, kita juga bisa melihat tim Jerman yang menjadi juara tiga pada Piala Dunia 2010 lalu, di mana juga banyak pemain keturunan yang memperkuat tim Jerman seperti Mesut Ozil (keturunan Turki), Lukas Podolski (kelahiran Polandia), Jerome Boateng (keturunan Ghana), Piotr Trochowski (kelahiran Polandia), Miroslav Klose (kelahiran Polandia), Cacau (kelahiran Brasil), Mario Gomez (keturunan Spanyol). Dalam level klub kita juga bisa melihat bagaimana perbedaan itu juga bisa melebur menjadi satu, Arsenal (klub dari Liga Inggris) dan Inter Milan (klub Liga Italia) memiliki sedikit pemain yang berasal dari negara (Inggris dan Italia) mereka dalam pemain utamanya, Arsenal hanya memiliki Theo Walcott, sedangkan di Inter Milan hanya Marco Materazzi yang berdarah Italia, dua klub raksasa ini juga dilatih oleh Arsene Wenger (Prancis) dan Rafael Benitez (Spanyol)[4] yang kian melengkapi perbedaan dalam sebuah klub sepakbola. Namun segala perbedaan itu juga tidak mengurangi semangat para pemain untuk meraih prestasi, seperti halnya Prancis yang menjadi Juara Piala Dunia 1998, Jerman menjadi Juara Tiga Piala Dunia 2010, Arsenal finish pada urutan ke-3 Liga Iggris 2009-2010, Inter Milan lebih hebat lagi dengan meraih treeble winners (tiga gelar sekaligus) pada musim 2009-2010 mereka menjuarai Liga Italia, Coppa Italia dan Liga Champions, saat itu mereka ditangani oleh Jose Mourinho (Portugal).
Hal ini seakan melegitimasi bahwa pluralisme bisa diterima dalam sepakbola, di mana perbedaan ideologi, negara, agama, ras, warna kulit, dan lainnya bisa melebur menjadi satu dalam sepakbola. Pluralitas bukan menjadi faktor potensial yang mematikan gerak, tapi jika dipahami dengan baik, bisa menjadi kekuatan yang dahsyat.[5]
Selain beberapa cerita di atas, ada sisi lain yang paling menarik perhatian kita dalam sepakbola yakni suporter sepakbola. Semangat dan kreativitas suporter menjadi daya tarik tersendiri dalam sebuah pertandingan sepakbola. Bahkan pernah muncul sebuah pernyataan The game isn’t the game without supporters (suatu pertandingan tidak berarti tanpa kehadiran suporter).[6] Apa yang diungkapkan tersebut bisa benar adanya, sebuah pertandingan sepakbola tanpa adanya suporter ibaratanya “bagai sayur tanpa garam”. Keberadaan suporter seakan telah menyatu dengan tim kesayangannya, suporter menjadi “kekuatan ekstra” bagi para pemain di lapangan dalam meraih kemenangan. Karena kemenangan bukan saja untuk tim, namun juga untuk suporter yang selalu setia memberikan dukungan dan semangat kepada para pemain di lapangan. Maka tak heran jika banyak yang mengatakan bahwa suporter adalah pemain ke-12 dalam sebuah pertandingan sepakbola. Selain itu suporter juga menjadi salah satu kekuatan finansial dari klub, khususnya dari penjualan tiket dan merchandise yang dijual. Suporter juga menjadi salah satu hiburan tersendiri dalam sepakbola selain pertandingan di lapangan. Namun cukup disayangkan jika kreativitas, semangat serta kekompakan suporter yang positif itu berubah menjadi negatif atau terkenal dengan Hooliganisme seperti munculnya tindakan anarkisme, tawuran antar suporter, tindakan provokatif dan rasis antar suporter, penjarahan, serta perilaku negatif lainnya yang pada akhirnya membuat masyarakat resah dan antipati terhadap suporter sepakbola. Di mana efek dari perilaku negatif suporter itu berimbas kepada tim kesayangan mereka, klub atau tim terkena sanksi dan denda dari otoritas sepakbola dunia maupun otoritas sepakbola di negara masing-masing.
Beberapa waktu lalu (12/10/2010) dunia dikejutkan dengan ulah suporter Serbia yang ‘mampu menghentikan’ pertandingan antara Italia melawan Serbia di Stadion Luigi Ferraris, Genoa, Italia, dalam lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2012. Mereka (suporter Serbia) melemparkan bom asap dan kembang api ke dalam lapangan.[7] Bahkan sempat terjadi kerusuhan antar sesama suporter Serbia di dalam stadion dan mereka merusak jaring pengaman dan memecahkan tembok kaca.[8] Sebelum terjadi kerusuhan di Genoa, pada (10/10/2010) sekitar 6.000 demonstran yang diidentifikasi sebagai suporter sepakbola terlibat bentrok dengan polisi karena memprotes parade gay di Beogard, Serbia.[9] Kerusuhan suporter juga terjadi di Moskow Tengah (7/9/2004) ketika lebih dari 100 suporter Rusia dan Irlandia berkelahi menjelang pertandingan kedua tim dalam lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2004.[10] Dalam sejarah perang hooligan tidak ada bentrokan yang sespektakuler pertandingan Red Star Belgrad melawan Dinamo Zagreb pada tahun 1990-an.[11] Di mana pada kerusuhan tersebut melibatkan banyak pihak mulai dari kedua pihak suporter, polisi, hingga pemain[12]. Kerusuhan suporter sepakbola yang forgive not forget adalah Tragedi Heysel pada 29 Mei 1985 ketika Liverpool melawan Juventus dalam partai puncak Liga Champions di Stadion Heysel, Brussels, Belgia. Sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba terjadi kekacauan di sektor Z stadion. Pagar yang memisahkan pendukung Liverpool dan Juventus ambruk, penontonpun panik dan berhamburan untuk menyelamatkan diri, beberapa orang tewas karena terinjak-injak.[13] Melihat kejadian tersebut, sontak pendukung Liverpool bereaksi, ratusan kaleng dan botol minuman, batu, rantai, dan besi pagar yang patah dilemparkan ke arah suporter Juventus. Dalam waktu singkat, stadionpun berubah menjadi arena pertempuran yang mengerikan. Akibatnya, korban tewas pun berjatuhan: 32 suporter Juventus, empat orang warga negara Belgia, dua orang Prancis, serta seorang Irlandia.[14] Dari berbagai kerusuhan yang dilakukan oleh suporter, sepakbola bahkan dinilai sebagai sebuah metamorfosis pertandingan gladiator pertarungan sampai mati dua ksatria pada zaman Romawi Kuno yang dimodernisasi.
Tentunya banyak kisah menarik lainnya tentang sepakbola, sepakbola bukan hanya sekedar permainan 11 orang melawan 11 orang atau hanya persaingan untuk menjadi yang terbaik, namun sepakbola bisa banyak mengandung cerita lain dibaliknya. Entah itu cerita yang berakhir dengan indah, atau justru sebaliknya. Dimana banyak juga orang yang karirnya hancur karena sepakbola.
englis
Many interesting stories when we talk about football, not just the football competition between clubs in a match achievement or thrill in the field. Football is so popular with people from all over the world, as if it has become a "new religion" in the era of modernization such as this. Look at how many pairs of eyes that watch a match in the club level as the English Premier League, Spanish League, Italian League and European Champions League.
The story of football is not just limited to that alone, soccer is also a place of political campaigns. The election of Silvio Berlusconi (owner of the Italian League club AC Milan) became prime minister of Italy in 1994 could not be separated from football. Matt Frei in his book The Unfinished Revolution Italy (1997) and Martin Clark in Modern Italy 1871-1995 (1996) says that Berlusconi was elected because of cleverness choose the right moment. [1] He appeared in Italian society as bored with political jargon such as democracy, liberal, socialist, social democrat. He actually came up with the jargon of Forza Italia (Majulah Italy) in the political stage, although the term is very close to the football (as they often shouted by spectators of football in Italy). [2] Shortly later, Berlusconi became prime minister of Italy. We can also see Pele (Brazil legend) which was also the minister of sport in his country, in addition to Pele is also a legend George Weah of AC Milan and Liberia who had followed the presidential election but did not win but support for him is not a little. In 1989 Fernando Collor de Mello (who also once led the football club in Brazil) managed to become President of Brazil at the age of 40. [3]
Football is also a reflection of the pluralism in which barriers such as race, religion, color, etc. can be incorporated into a single unit in football. We can see the French national team when it won the 1998 World Cup, many players who are not descendants of the original French became the French national team spines like Zinedine Zidane (Algerian descent), Christian Karembeu (born in New Caledonia), Youri Djorkaeff (Moroccan), David Trezeguet (descendants of Argentina), Bixente Lizarazu (Spanish descent), Patrick Vieira (Senegal descent), Lilian Thuram (born Guadeluoupe), Thierry Henry (his parents came from Guadeluope-Martinique). Besides France, we can also see the German team who won three in World Cup 2010, where also a lot of players who strengthens German team offspring like Mesut Ozil (Turkish descent), Lukas Podolski (born Poland), Jerome Boateng (Ghana descent) , Piotr Trochowski (born Poland), Miroslav Klose (born Poland), Cacau (born in Brazil), Mario Gomez (Spanish descent). In the club level, we can also see how those differences can also be merged into one, Arsenal (Premier League club from UK) and Inter Milan (Italian League club) has a few players who come from countries (Britain and Italy) they are the main players, Arsenal only have Theo Walcott, while at Inter Milan's only a bloody Italian Marco Materazzi, the two giants are also trained by Arsene Wenger (France) and Rafael Benitez (Spain) [4] are increasingly complement the difference in a football club. However, all differences were also not reduce the morale of players for achievement, such as France that became the 1998 World Cup champion, Germany's three World Cup Champion 2010, Arsenal finished 3rd in the League Iggris 2009-2010, Inter Milan great beyond to reach treeble winners (three titles at once) on their 2009-2010 season, winning the Italian League, Coppa Italia and Champions League, then they will be handled by Jose Mourinho (Portugal).
This seemed to legitimize that pluralism could be accepted in football, where differences in ideology, nation, religion, race, color, and others can be merged into one in football. Plurality is not a factor potentially deadly move, but if properly understood, can be a powerful force. [5]
Apart from a few stories above, there is another side that most attracts our attention that football fans in football. The spirit and creativity of fans the main attraction in a game of football. Even once appeared a statement The game Is not the game without supporters (a match does not mean that without the presence of supporters). [6] What is disclosed can be true, a game of football without the fans ibaratanya "like vegetables without salt." The presence of supporters seemed to have merged with his favorite team, fans to be "extra strength" for the players on the field in victory. Because the victory not only for the team, but also for fans who always faithful to provide support and encouragement to the players on the field. So no wonder if many who say that the fans are the 12th player in a football match. In addition, supporters also became one of the financial strength of the club, particularly from ticket sales and merchandise sold. Supporters also one of their own entertainment in addition to the game of football on the field. But quite unfortunate if the creativity, passion and cohesiveness of positive supporters that turned into a negative or a famous act of hooliganism, such as the emergence of anarchism, brawl between fans, provocative and racist actions among supporters, looting, and other negative behaviors that ultimately make people restless and antipathy of football supporters. Where the effects of negative behaviors that impact to the fans their favorite team, club or team penalties and fines from the authority of world soccer and football authorities in their respective countries.
Some time ago (10/12/2010) of the world were surprised by the act of Serbian supporters who 'can stop' the match between Italy against Serbia at the Stadio Luigi Ferraris, Genoa, Italy, in a Euro 2012 qualifier. They (supporters of Serbia) threw smoke bombs and fireworks into the field. [7] Even the fellow had been a riot between supporters of Serbia in the stadium and they destroy the safety net and break the glass wall. [8] Prior to the riots in Genoa, on ( 10/10/2010), about 6,000 demonstrators who were identified as football fans clashed with police for protesting the gay parade in Beogard, Serbia. [9] Riots supporters also occurred in Central Moscow (07.09.2004) when more than 100 Russian fans and Irish fight ahead of both teams in Euro 2004 qualifier. [10] In the history of warfare there are no clashes hooligans who sespektakuler Red Star Belgrade match against Dinamo Zagreb in the 1990s. [11] Where in the riot involving multiple parties start from both sides supporters, police, until the player [12]. Rioting soccer fans who forgive not forget the Heysel tragedy on May 29, 1985 when Liverpool against Juventus in the Champions League top party at Heysel Stadium, Brussels, Belgium. Before the game started, suddenly there is chaos in the stadium Z sector. The fence that separates Liverpool and Juventus supporters crash, penontonpun panicked and rushed to save themselves, some people have been killed since trampled. [13] Looking at the incident, Liverpool supporters react instantly, hundreds of cans and beverage bottles, stones, chains, and iron fence A broken thrown towards the Juventus fans. In a short time, stadionpun turned into a gruesome battle arena. As a result, the death toll fell down: 32 Juventus supporters, four Belgian nationals, two French people, and an Irishman. [14] Of the various rioting by fans, football and even considered as a metamorphosis of the game gladiators fight to the death of two knights on Ancient Roman times that modernized.
Of course, many other interesting stories about football, football is not just a game 11 people against 11 people or only competition to be the best, but football can contain a lot of other stories behind it. Whether it ended with a beautiful story, or just the opposite. Where there are many people whose career was destroyed because of football.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar