Maulwi Saelan Kiper 1951 – 1958 Benteng Beton
Yudo Hadianto Kiper 1961 – 1974 Papi
Yuswardi Bek Kanan 1967 – 1974 Ajo
Simson Rumahpasal Bek Kanan 1975 – 1982 Palang Pintu
Yohanes Auri Bek Kiri 1975 – 1985 Black Silent
Didik Darmadi Bek Kiri 1978 – 1986 -
Anwar Ujang Stopper 1965 – 1978 Beckenbauer
Robby Darwis Stopper 1985 – 1997 Irung
Ronny Pattinasarany Libero 1970 – 1982 Si Kurus
Herry Kiswanto Libero 1985 – 1993 Akang
Iswadi Idris Gelandang 1968 – 1980 Si Bos/Boncel
Junaedi Abdillah Gelandang 1968 – 1983 Pet
Zulkarnaen Lubis Gelandang 1983 – 1986 Maradona
Rully Rudolf Nerre Gelandang 1977 – 1989 Jean Tigana
Nobon Kayamudin Gelandang 1971 – 1979 Biang Kerok
Surya Lesmana Gelandang 1963 – 1972 Jango Jakarta
M Basri Gelandang 1962 – 1973 Teta
Tio Him Tjiang Gelandang 1951 – 1958 -
Risdianto Penyerang 1971 – 1981 Gayeng
Bambang Nurdiansyah Penyerang 1979 – 1986 Gerd Muller
Ricky Yakobi Penyerang 1982 — 1993 Paul Marinir
Widodo C. Putra Penyerang 1991 — 1996 -
cerita-cerita tentang Pemain Legenda Timnas :
Widodo Cahyono Putro (lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 8 November 1970; umur 39 tahun) adalah seorang pelatih dan pemain sepak bola legendaris Indonesia[1]. Posisinya saat bermain adalah penyerang. Ia paling dikenal sebagai pencetak gol terbaik Asia pada tahun 1996, melalui tendangan saltonya saat melawan Kuwait di Piala Asia 1996.[2] Saat ini ia menjadi pelatih tim U-23 Indonesia bersama Bambang Nurdiansyah.[3] Di Liga Indonesia, ia pernah memperkuat Persija Jakarta dan Petrokimia Putra Gresik. Ia juga pernah melatih tim Petrokimia Putra Gresik.
Putro juga dikenal sebagai pemain yang tidak bertemperamental. Ia tidak pernah mendapat kartu merah dan hanya satu kali mendapat kartu kuning.
Kini dia melatih klub Liga Super Indonesia, Persela Lamongan menggantikan posisi M Basri.
Maulwi Saelan (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1928; umur 81 tahun[1]) adalah salah satu pemain sebak bola legendaris [2] dan juga pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga pernah menjadi salah satu ajudan pribadi presiden Soekarno. Selain itu ia dikenal juga sebagai pendiri Taman Siswa Makassar.
Yudo Hadianto (lahir di Solo, Jawa Tengah, 19 September 1941; umur 68 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1] era 1960-an dan 1970-an. Pada masanya ia sempat diakui sebagi kiper terbaik Asia[2]. Selain itu ia pernah kuliah di Fakultas Ekonomi UI periode 1960-1963 tetapi tidak selesai.
Yuswardi (lahir di Medan, Sumatera Utara, 2 Juli 1945; umur 64 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an yang saat ini melatih tim PSMS Medan.
Simson Rumah Pasal (lahir di Desa Lohiatala, Seram Barat, Maluku, 21 Agustus 1950; umur 59 tahun) adalah mantan pemain nasional sepak bola Indonesia pada era 1970-an dan awal 1990-an.
Anwar Ujang (lahir di Cikampek, Karawang, Jawa Barat, 2 Maret 1945; umur 65 tahun) adalah mantan pemain nasional sepakbola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an dari Klub Persika Karawang.Sebelum menjadi pemain sepakbola sempat menjadi karyawan Pertamina pada tahun 1960[1]. Pemain dengan nomor punggung 5 ini pertama kali bergabung dengan PSSI pada April 1965 dan menjadi Kapten PSSI pada tahun 1971 – 1974[2]. Pada masa jayanya, ia sering dijuluki Beckenbauer Indonesia dan bersama tim Indonesia sering melakukan pertandingan-pertandingan melawan tim dari Eropa dan Asia.
Robby Darwis (lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Oktober 1964; umur 45 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] yang terkenal pada tahun 1990-an dan merupakan salah satu bintang Persib Bandung pada era tersebut. Ia berposisi sebagai stoper (bek tengah). Pada musim pertama Liga Indonesia, ia membawa Persib menjadi juara sebagai kapten tim. Darwis pernah pula bermain di Liga Malaysia, memperkuat Kelantan FC. Di tim nasional Indonesia (1987-1997), ia tampil sebanyak 53 kali dan mencetak 6 gol. Di Liga Indonesia 2007 Robby Darwis menjadi asisten pelatih Persib (Arcan Iurie), dan cuti dari pekerjaan sebelumnya yaitu sebagai bankir di BNI 1946.
Ronald Hermanus Pattinasarany atau lebih dikenal dengan nama Ronny Pattinasarany (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 9 Februari 1949 – meninggal di Jakarta, 19 September 2008 pada umur 59 tahun[1]) adalah pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[2].
Ronny meninggal dunia hari Jumat, 19 September 2008, pukul 13.30 WIB, dalam usia 59 tahun, akibat kanker hati yang dideritanya sejak Desember 2007. Ronny pergi meninggalkan seorang istri, Stella Pattinasarany, dan tiga anak Benny, Yerry, dan Cita yang mendampinginya sampai saat-saat terakhir di Rumah Sakit Omni Medical Center, Pulo Mas, Jakarta Timur.Era 1970-an hingga 1980-an, saat sepak bola Indonesia menjadi salah satu raksasa di Asia, Ronny Pattinasary menjadi salah satu yang ikut melambungkan nama tim merah-putih. Pria berdarah Ambon yang lahir di Makassar itu dikenal sebagai sosok pemain papan atas.
Penghargaan yang diperolehnya seperti Pemain All Star Asia tahun 1982, Olahragawan Terbaik Nasional tahun 1976 dan 1981, Pemain Terbaik Galatama tahun 1979 dan 1980, dan meraih Medali Perak SEA Games 1979 dan 1981.
Perjalanan kariernya sebagai pemain bola dimulai bersama PSM Junior pada tahun 1966. Dua tahun kemudian berhasil menembus level senior tim PSM Makassar. Dari Makassar, Ronny hengkang ke klub Galatama, Warna Agung, yang dibelanya dari tahun 1978 hingga 1982. Di sinilah kariernya mulai menanjak sehingga dia pun terpilih masuk dan menjadi kapten timnas. Tahun 1982, Ronny hengkang ke klub Tunas Inti. Hanya setahun di sana, dia pun memutuskan untuk gantung sepatu dan beralih profesi sebagai pelatih.
Herry Kiswanto (lahir di Banda Aceh, Aceh, 25 April 1955; umur 54 tahun) adalah seorang pelatih sepak bola Indonesia dan salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia[1]. Posisinya di lapangan sebagai libero. Dalam karirnya ia hanya pernah mendapat sekali kartu kuning yaitu ketika membela Krama Yudha Tiga Berlian melawan Pelita Jaya di era Galatama[2].
Setelah sukses meloloskan klub Persmin Minahasa ke kompetisi Super Liga di musim 2007/2008 lalu, salah satu pemain legendaris yang biasa dipanggil “Akang” ini, dikontrak oleh klub Persiraja Banda Aceh sebagai pelatih kepala di kompetisi Divisi Utama untuk musim 2008/2009.
Menyusul terjadinya krisis internal terkait masalah pendanaan di tubuh Persiraja Banda Aceh, yang juga menimpa banyak klub sepak bola lainnya di tanah air, sejak berakhirnya putaran pertama kompetisi Divisi Utama, ia memutuskan mundur dari Persiraja Banda Aceh dan langsung diikat kontrak untuk menangani klub Persikab Bandung menggantikan pelatih Deni Syamsuddin yang baru didepak dari tim yang bermarkas di kota Soreang, Kabupaten Bandung itu.
Iswadi Idris (lahir di Banda Aceh, Aceh, 18 Maret 1948 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2008 pada umur 60 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1]. Pemain yang dijuluki “Boncel” karena tubuhnya relatif pendek (tinggi 165 cm) ini termasuk pemain paling berbakat yang dimiliki Indonesia. Ia memperkuat timnas PSSI sebagai pemain gelandang pada era 1960-an dan 1970-an. Selama menjadi pemain, Bang Is, demikian ia akrab disapa, sangat menggemari nomor punggung 13.
Junaedi Abdillah (lahir di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, 21 Februari 1948; umur 62 tahun) adalah mantan pemain nasional sepakbola Indonesia.Junaidi menimba ilmu sepakbola bersama klub Indonesia Muda. Dia juga pernah belajar di Diklat Salatiga pada 1960-an bersama Oyong Liza, Sartono Anwar dan Harsoyo. Dari Salatiga, Junaidi dan Oyong dipanggil masuk tim nasional junior. Di tim yang disebut PSSI B itu, mereka berhasil menjadi runner-up Kejuaraan Juior Asia 1967 di bawah Israel. Ketika itu, Federasi Sepakbola Israel masih tergabung di zona Asia.
Keberhasilan itu mengantar Junaidi dan beberapa rekan lainnya seperti Oyong, Suaeb Rizal, Harsoyo, Abdul Kadir, Waskito dan Bob Permadi ke tim nasional senior atau PSSI A. Di tim ini, mereka bersaing dengan seniornya seperti Soetjipto Soentoro dan Jacob Sihasale. Junaidi juga pernah memperkuat Indonesia di kualifikasi Olimpiade Munich 1972 bersama dengan Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani[1].
Zulkarnain Lubis (lahir di Binjai, Sumatera Utara, 21 Desember 1958; umur 51 tahun) adalah salah seorang mantan pemain nasional sepak bola Indonesia dari klub PSMS Medan pada era 1970-an. Dia adalah pemain PSMS Medan (1979-1980) dan Mercu Buana Medan (1981-1982), sebelum memperkuat klub-klub elite di Pulau Jawa, di antaranya Yanita Utama Bogor.Pada eranya ia sering dijuluki sebagai Maradona Indonesia karena ia sering beroperasi di lini tengah, gocekan dan umpan-umpan matang dari kaki Zulkarnaen membuat para penyerang depan seperti mendapat pelayanan kelas satu. Visi bermain bola yang tinggi membuat Zulkarnaen mampu membaca pergerakkan pemain belakang lawan sekaligus menentukan ke mana teman di lini depan harus bergerak. Singkatnya, aksi pemain yang pada masa jayanya memiliki ciri rambut gondrong ini memang sangat memikat.
Talenta itu juga yang membawa Zulkarnaen menghuni skuad timnas. Di tim Merah Putih, striker seperti Bambang Nurdiansyah, Dede Sulaiman dan Noah Meriem merasakan sekali matangnya umpan-umpan Zulkarnaen. SEA Games, Pra Piala Dunia, dan Asian Games adalah ajang-ajang internasional yang pernah diikuti Zulkarnaen.
Di level klub, pemain ini sempat mengecap prestasi puncak bersama Krama Yudha Tiga Berlian. Dua kali Zulkarnaen mengantarkan klub ini ke jenjang juara Kompetisi Galatama.
Rully Rudolf Nere (lahir di Papua, 13 Mei 1957; umur 52 tahun) adalah salah satu pemain sepak bola legendaris Indonesia [1] . Ia pernah memperkuat timnas nasional beberapa kali pada periode tahun 1980-an. Dalam kompetisi liga, ia memperkuat Persipura Jayapura.
Saat ini ia adalah pelatih dari PS Palembang. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Usia Muda PSSI periode 2003 – 2007. Sebelumnya ia pernah melatih PSPS Pekanbaru, Persiba Bantul dan PSSI U-20.
Mitchell Leandro Nere, anak dari Rully Nere sekarang bermain untuk PSMS Medan dalam Liga Super Indonesia.
Liem Soei Liang alias Surya Lesmana (lahir di Balaraja, Tangerang, 20 Mei 1944; umur 65 tahun) adalah seorang pemain sepak bola terkenal Indonesia di era tahun 1960an. Ia memperkuat tim nasional PSSI selama 10 tahun (1963-1972) dan Persija Jakarta selama 14 tahun (1962-1975). Ketika masa jayanya, Surya Lesmana dikenal sebagai gelandang jempolan yang memiliki kemampuan menyerang ataupun bertahan sama baiknya.
Surya Lesmana mengawali karier sepak bola di Klub Union Makes Strength (UMS) pada tahun 1958, seangkatan dengan Mulyadi (Tek Fong). Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Soen Joe) kemampuannya semakin terasah. Karena kemampuan individunya yang bagus, Ia kemudian diminta bergabung dengan Persija Jakarta pada tahun 1962 dan kemudian diminta memperkuat tim nasional pada tahun 1963. Namanya kian tersohor seiring dengan kariernya yang mulus dan menjadi pujaan banyak orang.
Surya Lesmana pensiun dari tim nasional pada tahun 1973. Namun namanya tak lantas hilang dari dunia sepak bola tanah air. Kepiawaiannya mengolah kulit bundar membuat klub-klub asing masih meliriknya. Surya mencatatkan diri sebagai salah satu pelopor pemain Indonesia yang merumput di luar negeri. Ia dikontrak sebagai pemain klub Mac Kinan Hongkong selama satu musim pada tahun 1974 dengan gaji HK$ 2.000 per bulan, jumlah yang cukup besar kala itu.
Kejayaan seringkali membuat orang menjadi lupa diri, demikian juga dengan Surya Lesmana. Pada masa keemasannya Ia tenggelam bersama kesenangan duniawi. Surya menghambur-hamburkan semua penghasilan yang diperoleh dari bermain bola. Pada massa tuanya, Ia hidup sebatang kara. Ia tidak memiliki rumah ataupun kendaraan dan tidak menikah. Bahkan Ia harus tinggal menumpang di rumah orang di Gang Kancil, kawasan Glodok, Jakarta Barat. Ia tinggal secara cuma-cuma karena jasanya mendidik anak pemilik rumah dan anak-anak di lingkungan sekitar dalam bermain bola. Surya tidak mau menyesali terus keadaannya saat ini. “Kita harus terima keadaan ini dengan lapang dada dan besar hati,” ujarnya.
Surya masih tetap menggeluti sepak bola, dunia yang pernah melambungkan sekaligus menenggelamkan nasibnya. Ia masih bermain bola bersama para manusia lanjut usia di lapangan UMS. Rutinitas lain yang dilakoni lelaki ini adalah mengunjungi teman-teman lama seangkatannya. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengobrol dan bercerita mengenang masa lalu. Dengan alasan berolahraga, Ia berjalan kaki hingga belasan kilometer atau bahkan dua jam untuk sampai ke sana. “Saya sering jalan sampai ke Komdak, Slipi, atau Cempaka Putih. Tapi, kalau sudah siang, saya naik bus,” ujarnya.
Sampai saat ini Surya bersama dengan Mulyadi menjadi pelatih di klub UMS di kawasan Petak Sin Kian, Mangga Besar. Anak keempat dari enam bersaudara ini tidak mempunyai pekerjaan lain. Setiap hari Surya menghabiskan waktunya mengawasi latihan anak-anak sekolah sepak bola dengan imbalan ala kadarnya. Meskipun harus menghadapi getirnya hidup di usia senja, Ia masih berharap pemerintah mau memperhatikan nasibnya.
M. Basri (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1942; umur 67 tahun) adalah mantan pemain sepak bola nasional Indonesia dan sekarang melatih beberapa klub sepak bola di Indonesia.Basri memulai karirnya di Klub MOS pada tahun 1961 dan dilanjutkan di klub Pardedetex dan HBS Surabaya.
Basri sempat membela timnas di Asian Games 1962. Pada saat itu, Indonesia menjadi tuan rumah pesta olahraga se-Asia. Selanjutnya, Basri terus tampil pada dua Asian Games berikutnya. Ia juga menjadi bagian timnas saat Indonesia turun di Ganefo.
Persebaya Surabaya adalah tim pertama yang diasuh Basri. Pada musim 1977, Basri berhasil mengantarkan Persebaya jadi juara Kompetisi Perserikatan. Usai memberikan prestasi puncak bagi Persebaya, Basri pindah ke Niac Mitra. Nampaknya Basri juga ingin menjajal kerasnya Kompetisi Galatama. Lagi-lagi keampuhan racikan Basri terbukti. Tiga kali Niac Mitra dibawa Basri jadi juara Galatama, masing-masing pada 1981, 1982, dan 1986.
Kenyang merasakan persaingan di era Kompetisi Perserikatan dan Galatama, karir Basri sebagai pelatih terus berlanjut saat sepak bola Indonesia memasuki fase Liga Indonesia. Sebagai putra derah, di awal Liga Indonesia bergulir, Basri sangat bangga bisa menukangi PSM Makassar. Nyaris saja Piala Presiden, lambang supremasi Liga Indonesia berhasil dipersembahkan Basri bagi tanah kelahirannya. Sayang, di final Liga Indonesia 1995/1996, PSM Makassar kalah 0-2 dari Mastrans Bandung Raya di final. PSM Makassar pun gagal jadi juara Liga Indonesia untuk kali pertama.
Selain PSM, di era Liga Indonesia, Basri juga pernah menangani Arema Malang, Persita Tangerang, dan terakhir Persela Lamongan di musim 2007. Kala menangani Persita di musim 2004, Basri mengajukan pengunduran diri dari posisi pelatih kepala. Hal ini dilakukan karena Persita menelan kekalahan beruntun.
Sebagai pelatih, Basri dikenal keras dan tegas. Ia selalu menegakkan disiplin tinggi pada tiap tim yang diasuhnya. Hingga kini, Basri bisa dikatakan sebagai pelatih lokal paling senior yang masih beredar di kancah sepak bola nasional Indonesia.
Thio Him Tjiang (lahir di Jakarta, 28 Agustus 1929; umur 80 tahun) adalah seorang pemain sepak bola Indonesia di era tahun 1950an. Ia merupakan atlet berprestasi hasil binaan Klub Union Makes Strength (UMS), salah satu klub sepak bola tertua di Indonesia dan klub yang tergabung dalam Persija Jakarta.
Thio Him Tjiang besar dan tumbuh dari keluarga pemain sepak bola. Ayahnya, Thio Kioe Sen, adalah pemain UMS. Thio Kioe Sen mempunyai tujuh anak, enam lelaki dan satu perempuan. Semua anak lelakinya; Thio Him Gwan, Thio Him Tjiang, Thio Him Toen, Thio Him Eng, Thio Him Boen, dan Thio Him Hok adalah pemain UMS. Namun di antara semuanya yang paling terkenal adalah Thio Him Tjiang.
Thio Him Tjiang dikenal sebagai orang yang mempunyai loyalitas tinggi. Ia tetap setia bermain untuk UMS walaupun pernah diminta untuk bermain di Klub Tjung Hwa (sekarang PS Tunas Jaya), musuh bebuyutan Klub UMS. Di bawah bimbingan pelatih Endang Witarsa (Lim Sun Yu), prestasi Thio Him Tjiang semakin bersinar. Ia bukan hanya berprestasi di UMS melainkan juga masuk menjadi pemain inti Persija dan tim nasional PSSI.
Tim nasional yang saat itu diperkuat oleh Ramang, Tan Liong Houw, Thio Him Tjiang, Phoa Sian Liong, Kwee Kiat Sek, Maulwi Saelan, Chaeruddin Siregar, dan Witarsa berhasil masuk perempat final Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Indonesia yang awalnya sempat menahan 0-0 tim tangguh Uni Soviet, akhirnya kalah 0-4 pada pertandingan yang dilanjutkan hari berikutnya. Uni Soviet akhirnya menjadi juara setelah di final mengalahkan Yugoslavia.
Thio Him Tjiang yang bermain sebagai gelandang, memperkuat Tim Merah Putih selama 8 tahun (1951-1958). Setelah pensiun sebagai pemain, Ia tidak mau melanjutkan karir sebagai pelatih sebagaimana teman-temannya yang lain. Thio Him Tjiang tetap memegang teguh prinsip: ingin dikenang sebagai pemain sepak bola saja bukan sebagai pelatih sepak bola.
Risdianto (lahir di Pasuruan, Jawa Timur, 3 Januari 1950; umur 60 tahun) adalah seorang mantan pemain nasioanl sepak bola Indonesia di era 1970-an dan 1980-an bersama Iswadi Idris dan Ronny Pattinasarani.Pria yang akrab disapa Ris ini pada usia 14 tahun sudah memperkuat Persekap Pasuruan dan ikut membela tim sepak bola Pekan Olahraga Nasional Jawa Timur pada 1969. Setahun lewat, dia dipanggil masuk skuad tim nasional hingga 1981. Selama satu dekade, Ris malang melintang mewakili Indonesia ke sejumlah turnamen dan kejuaraan, termasuk SEA Games 1981, yang menghasilkan medali perunggu bersama antara lain Iswadi Idris, Abdul Kadir dan Hartono. Klub profesional pertamanya dia awali dengan bergabung bersama UMS Jakarta, yang dilatih Dr Endang Witarsa. Dari sana dia hijrah ke Persija. Karier klubnya banyak ia habiskan bersama Warna Agung selama 1978-1983.
Ris adalah pemain Indonesia pertama yang dikontrak selama satu musim oleh Mackinnons FC, salah satu tim Divisi Utama Hong Kong (1974-1975). Ia pemain sepak bola Indonesia kedua yang dipinang klub luar negeri, setelah Iswadi Idris. Dia meninggalkan Hong Kong untuk bergabung dengan tim nasional Pra-Olimpiade 1976, yang saat itu langkah tim nasional dihentikan Korea Utara lewat drama adu penalti.
Bambang Nurdiansyah (lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 28 Desember 1958; umur 51 tahun) adalah seorang pelatih dan mantan pemain sepak bola legendaris Indonesia.[1] Mulai musim 2008 ia melatih Arema Malang di Liga Super Indonesia,[2] namun mengundurkan diri setelah baru menjalani 4 pertandingan karena merasa ditekan kelompok pendukung Arema, Aremania.[3] Ia kemudian melanjutkan musim 2008/09 dengan menjadi pelatih PSIS Semarang. Sebelumnya ia pernah melatih klub Pelita Krakatau Steel pada tahun 2006. Pada musim 2005 ia melatih di PSIS Semarang, namun pindah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga. Selain itu, Bambang juga pernah melatih Persita Tangerang.
Di sela jeda Liga Indonesia musim 2005 dengan musim 2006, Bambang sempat ditunjuk oleh PSSI untuk melatih sementara Indonesia untuk pertandingan melawan Afrika Selatan dalam rangka ulang tahun Golongan Karya.
Ia juga pernah menjadi pelatih tim nasional sepak bola putri pada SEA Games XXII.
Sebelum menjadi pelatih, ia adalah seorang pemain sepak bola dan pernah memperkuat Pelita Jaya dan tim nasional Indonesia selama 11 tahun (1980-1991). Posisinya adalah penyerang (striker).
Ricky Yacob (lahir di Medan, Sumatera Utara, 12 Maret 1963; umur 46 tahun) adalah seorang pemain sepak bola legendaris Indonesia [1].Masa keemasan Ricky Yacob terjadi pada paruh kedua dekade 1980-an. Karir sepak bolanya banyak dihabiskan bersama klub Arseto Solo. Selain itu ia pernah memperkuat PSMS Medan sewaktu merebut Piala Suratin. Ia selalu bersaing dengan Bambang Nurdiansyah (Krama Yudha/Pelita Jaya) untuk memperebutkan satu tempat di tim nasional. Kini, Ricky Yacob lebih dikenal dengan nama Ricky Yacobi.
Selama bermain di Indonesia, Ricky tidak pernah membawa klubnya menjadi juara (Galatama/Liga Indonesia). Namun, ia sempat dua kali turut mempersembahkan medali emas SEA Games pada tahun 1987.
Ricky sangat memesona penggila bola nasional dengan gayanya yang khas. Kurniawan Dwi Yulianto, salah satu penyerang terbnaik Indonesia yang bermain di era 1995-2005 sangat mengidolakannya. Ricky kerap dijuluki Paul Brietner Indonesia dan merupakan penyerang opurtunis yang mengandalkan kecepatan dalam bermain. Tampangnya yang lumayan ganteng dan rambutnya yang gondrong membuat Ricky begitu dikenal. Aksi puncakya terjadi di ajang Asian Games 1986 di Korea Selatan.
Ketika itu, tim nasional Indonesia hanya kalah 0-2 dari Arab Saudi dan bermain imbang 1-1 melawan Qatar. Tim Indonesia lalu menang 1-0 lawan Malaysia dan menang 4-3 (penalty) melawan Uni Emirat Arab (UEA). Ricky mengagetkan orang ketika ia mencetak gol sewaktu melawan UEA. Gol voli dengan tendangan langsung tanpa sempat menyentuh tanah, ia lesakan dari sisi kiri gawang UEA dalam jarak yang amat jauh.
Setelah itu, nama Ricky semakin beken setelah ia dibeli Klub Matsushita Jepang pada tahun 1988. Sayang, ia tak mampu beradaptasi dengan udara dingin di Jepang. Hanya empat pertandingan yang sempat ia ikuti—dengan satu gol sempat dicetak.
RSSSF hanya mencatat bahwa Ricky sempat 31 kali memperkuat tim nasional sepanjang enam tahun (9-12-1985 sampai 11-6-1991). Hanya lima gol yang sempat dicatat. Tapi, sepertinya, jumlah gol itu tidak akurat. Ricky setidaknya mencetak 15 gol untuk tim nasional Indonesia di ajang resmi.
Ramang (1928 – Makassar, 26 September 1987) adalah pemain sepak bola Indonesia dari PSM Makassar yang terkenal pada tahun 1950-an. Ia berposisi sebagai penyerang. Dia pernah mengantarkan PSM ke tangga juara pada era Perserikatan serta pernah memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia.Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo’lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.